Pengertian Suku Bangsa (Ethnic Groups), Ciri-Ciri Suku Bangsa, dan Pengertian Etnisitas atau Kesukubangsaan. Konsep suku bangsa atau kelompok etnik (ethnic groups) merupakan konsep yang sudah melekat di dalam antropologi, karena sejak lahirnya antropologi, para ahlinya sudah bekerja menggali kebudayaan kelompok etnik atau sukubangsa dari berbagai belahan dunia ini. Para antropolog barat sejak awal abad keduapuluh sudah bertebaran di muka bumi untuk menggali dan mendeskripsikan berbagai kelompok etnik yang ribuan jumlahnya. Hasil-hasil penelitian ini dikumpulkan di dalam ‘ensiklopedi’ yang diberi judul Human Relation Area Files (HRAF), yang merupakan sebuah lembaga di Yale University di Amerika Serikat. Awalnya dengan mengungkap suku bangsa yang masih hidup sederhana dengan kebudayaannya atau struktur sosialnya, kemudian mulai beralih Mahasiswa mampu menjelaskan konsep suku bangsa (ethnic group) dan kesukubangsaan (ethnicity) untuk mengenal kebudayaan berbagai suku bangsa yang sudah mulai maju dan yang sudah maju, seperti berbagai kebudayaan di Eropa dan Amerika. Penelitian-penelitian secara wholistic dilakukan untuk mengungkap ‘rahasia tersembunyi’ di balik kebudayaan manusia yang berbeda di berbagai belahan dunia.
Di dalam buku-buku
antropologi seperti yang dideskripsikan oleh Narroll, kelompok etnik dijelaskan
sebagai populasi yang (1) secara biologis mampu berkembang biak dan bertahan,
(2) mempunyai nilai-nilai budaya yang sama dan sadar akan rasa kebersamaan
dalam suatu bentuk budaya, (3) membentuk jaringan komunikasi dan interaksi sendiri,
dan (4) menentukan ciri kelompoknya sendiri yang diterima oleh kelompok lain
dan dapat dibedakan dari kelompok populasi lain.
Koentjaraningrat menyatakan
suku bangsa sebagai kelompok sosial atau kesatuan hidup manusia yang mempunyai sistem
interaksi, sistem norma yang mengatur interaksi tersebut, adanya kontinuitas dan
rasa identitas yang mempersatukan semua anggotanya serta memiliki sistem kepemimpinan
sendiri. Sedangkan ahli lain seperti Tumin menyatakan kelompok etnik adalah suatu
kelompok sosial yang berada dalam sesbuah sistem sosial dan kebudayaan yang
lebih besar dan mendasarkan pengelompokkan diri mereka pada status sosial
khusus karena suatu penurunan ciri etnik bawaan yang dianggap ada. Abner Cohen menyatakan
kelompok etnik adalah kesatuan orang-orang yang secara bersama-sama menjalani pola-pola
tingkah laku normatif, atau kebudayaan, dan yang membentuk suatu bagian dari
populasi yang lebih besar, saling berinteraksi dalam kerangka suatu sistem sosial
bersama, seperti negara.
Suparlan suku bangsa adalah kategori
atau golongan sosial. Sebagai golongan sosial, suku bangsa adalah golongan sosial
yang khusus yaitu askriptif, yaitu golongan sosial yang didapat begitu saja.
suku bangsa itu ada dan dikenal karena adanya interaksi dengan suku bangsa
lainnya dan melalui adanya interaksi ini ada pengakuan mengenai keberadaan dan ciri-cirinya
yang saling berbeda. Di antara ciri-ciri suku bangsa sebagai golongan sosial, yang
terpenting yang membedakan suku bangsa dan golongan sosial lainnya adalah ciri-cirinya
yang aksriptif yang mincul dan lestari di dalam interaksi yang menghasilkan
pengakuan, atau saling mengakui dan diakui.
Selanjutnya Suparlan menyatakan
ciri-ciri suku bangsa sebagai berikut:
(1) Sebuah satuan kehidupan yang secara biologi mampu berkembang biak dan lestari;
(2) Mempunyai kebudayaan serta pranata-pranata yang mereka miliki bersama, yang
merupakan pedoman bagi kehidupan mereka, yang secara umum berbeda dari yang dipunyai
oleh kelompok atau masyarakat suku bangsa lainnya; (3) Keanggotaan dalam suku
bangsa yang bercorak aksriptif, yaitu keanggotaan yang didapat oleh seseorang dengan
begitu saja, bersamaan dengan kelahirannya yang mengacu kepada kesukubangsaan orang
tua yang melahirkannya dan/atau daerah asal tempat kelahiran dan dibesarkannya hingga
dewasa.
Dari beberapa defenisi tersebut
suku bangsa (ethnic group) dapat dilihat dari beberapa ciri seperti bahasa, garis
keturunan, rasa identitas, kebudayaan, mengaku dan diakui, dan daerah asal. Bahasa
memang menjadi ciri yang menonjol, tetapi orang lain di luar suku bangsa yang bersangkutan
bisa saja memiliki kemampuan berbahasa yang luar biasa. Siapapun dapat belajar bahasa
Inggris dan dapat menjadi fasih seperti orang Eropa atau Amerika berbahasa,
tetapi penampilan fisik yang berbeda ras jelas dapat membedakan. Untuk banyak
suku bangsa di Indonesia yang memiliki penampilan fisik yang tidak jauh berbeda
bisa juga meragukan apabila seseorang dapat menguasai bahasa suku bangsa lain
yang telah dipelajarinya dengan baik. Tetapi penguasaan aturan kebudayaan
dengan nilai-nilai yang tercakup di dalamnya mungkin menjadi pembeda karena
tidak dapat dikuasai sepenuhnya jika tidak hidup lama di kebudayaan suku bangsa
tersebut. Maka cara-cara bertindak yang baik atau tidak baik menurut kebudayaan
suku bangsa tertentu bisa saja berbeda dengan kebudayaan suku bangsa lain.
Suku bangsa bisa diketahui
dari bahasa yang sama dari masing-masing anggota suku bangsa tersebut. Oleh karena
itu bahasa menjadi indikator yang penting, sehingga orang lain dapat mengakui bahwa
seseorang atau person tersebut dapat diakui sebagai anggota dari suku bangsa tertentu.
Kesamaan identitas ini dapat tumbuh jika seseorang dilahirkan dan dibesarkan di
dalam kelompok suku bangsa atau lingkungan sosialnya dimana dia dibesarkan. Pengenalan
bahasa yang diajarkan sejak lahir itu sekaligus merupakan pengenalan terhadap
kebudayaan suku bangsa bersangkutan. Bahasa sebagai indikator atau ciri yang
utama dari sebuah suku bangsa. Bahasa juga dapat dipelajari oleh orang dari
kebudayaan yang berbeda sampai menguasai bahasa tersebut dengan fasih.
Persoalannya adalah pada pemaknaan dan penguasaan kebudayaan oleh individu
tersebut.
Penguasaan dan pemaknaan kebudayaan
suku bangsa sebenarnya juga dimiliki oleh seseorang apabila individu tersebut
hidup lama di dalam masyarakat pendukung kebudayaan tersebut, sehingga dia juga
mengenal dan dapat menggunakan simbol-simbol kebudayaan tersebut. Lalu, apa bedanya
dengan individu yang memang pendukung atau bagian dari kebudayaan yang
bersangkutan? Bedanya adalah seseorang yang bukan pendukung atau bagian dari
suku bangsa itu tidak memiliki rasa identitas yang sama dengan pendukung suku
bangsa tersebut. Rasa identitas ini tumbuh dari proses sosialisasi kebudayaan
yang panjang sejak masa bayi dan dibesarkan di dalam lingkungan kebudayaan suku
bangsa tersebut, yang menginternalisasi ke dalam diri setiap individu. Proses
ini menjadi penting sejak individu bayi dan balita, karena pada masa inilah
terbentuknya kepribadian seseorang dan menjadi bagian dari kebudayaan suku
bangsa.
Oleh karena itu jika seseorang
yang sudah dewasa masuk ke dalam suku bangsa tertentu dan mempelajari bahasa serta
kebudayaan suku bangsa tersebut, tetapi rasa kesukubangsaan yang dimilikinya adalah
dari suku bangsa asalnya sejak bayi dan balita. Pada masa bayi dan balita inilah
kepribadian dan pembentukan diri seseorang tumbuh, yang sangat dipengaruhi oleh
orang-orang di sekitarnya, termasuk menjadi anggota suku bangsa dengan kebudayaannya.
Sebuah kasus unik pernah terjadi, seorang pemuda yang ‘berdarah’ Amerika
(kaukasoid), asal Indiana, tetapi tidak bisa berbicara sepatah katapun dalam
bahasa Inggris dan ia jelas merasa bingung dengan cara-cara orang di Amerika.
Sejak bayi, ia yatim piatu dan dibesarkan oleh keluarga Cina di sebuah desa
karena orang tuanya menjadi misionaris ke Cina. Semua orang yang berjumpa
dengannya melihatnya lebih bersifat Cina daripada Amerika. Matanya yang biru
dan rambutnya yang pirang kurang menarik, gaya jalannya seperti gaya jalan
orang Cina, gerakan tangan dan lengan seperti orang Cina, ekspresi wajah
seperti orang Cina, dan cara berfikir Cina. Warisan biologi adalah Amerika, tetapi
pendidikan kebudayaannya adalah Cina. Akhirnya ia kembali ke Cina.
Jadi suku bangsa dalam hal
ini lebih dinilai dari ciri-ciri atau simbol-simbol kebudayaan dari suku bangsa
tersebut. Inilah yang menjadi ciri askriptif, yang terbentuk begitu saja di
tengah-tengah masyarakat melalui proses sosialisasi yang panjang, yang dimulai
dari masa bayi dan balita sebagai masa awal pembentukan kepribadian dan suku
bangsa seseorang, bukan melalui proses bawaan secara genetik seperti bentuk tubuh,
atau diwariskan oleh orang tua. Satu poin ini yang menjadi ciri yang berbeda
dari apa yang dinyatakan oleh Parsudi Suparlan.
Apa yang dimaksud Etnisitas ?
Etnisitas atau kesukubangsaan oleh Parsudi Suparlan adalah identitas atau
jatidiri suku bangsa yang dipunyai oleh seseorang, yaitu karena seseorang
tersebut mengaku sebagai termasuk dalam sesuatu golongan suku bangsa dan diakui
oleh orang lain yang termasuk sebagai golongan suku bangsa lainnya. Kottak
menyatakan ethnicity is based on common cultural traditions – not mainly on
biological features, as race is. (Kesukubangsaan didasarkan atas tradisi-tradisi
kebudayaan, bukan oleh bawaan biologis seperti ras). Etnisitas ini muncul di
dalam proses interaksi oleh para pelaku, karena dalam interaksi seseorang akan
memperlihatkan ciri-ciri atau atribut kesukubangsaannya. Seseorang bisa
memiliki beberapa identitas atau jatidiri. Seorang Minangkabau berinteraksi
dengan orang Aceh dia akan menidentifikasikan jatidirinya sebagai orang Minang,
tetapi apabila dia berinteraksi dengan sesama orang Minang lainnya maka dia
akan mengidentifikasikan dirinya sebagai orang Pariaman atau Batusangkar. \
Menurut Suparlan, di antara jatidiri
yang dipunyai oleh seseorang, jatidiri suku bangsa adalah jatidiri yang
askriptif yang tidak bisa dibuang dan atau diganti begitu saja oleh jatidiri lainnya,
karena jatidiri tersebut menempel pada dirinya bersama dengan kelahirannya yang
didapat dengan mengacu pada asal muasal orang tua dan/ atau daerah asalnya. Walaupun
tidak dapat dibuang dari dirinya atau diganti begitu sajaoleh jatidiri suku
bangsa lainnya atau jatidiri lainnya, jatidiri suku bangsa atau kesukubangsaan
itu dapat disimpan atau tidak digunakan dalam interaksi bila jatidiri suku
bangsa tersebut dianggap tidak perlu atau tidak relevan.
Pada bagian lain Suparlan menyatakan
kesukubangsaan dapat dilihat sebagai kekuatan sosial untuk menciptakan terwujudnya
kohesi sosial di antara sesama anggota suku bangsa. Kohesi sosial ini dapat diaktifkan
dan diarahkan sebagai solidaritas sosial yang berkekuatan paksa diberlakukannya
suatu kebijakan politik atau ekonomi, memenangkan persaingan memperebutkan
sumberdaya, atau menghancurkan kelompok suku bangsa lain yang menjadi lawan. Kesukubangsaan
sebagai kekuatan sosial tidak dapat ditawar atau diremehkan (non negotiable) pada
saat terwujud sebagai sebuah solidaritas sosial.
Referensi
Clyde Kluckhon. 1984.
‘Cermin bagi Manusia’ dalam Parsudi Suparlan (editor) Manusia, Kebudayaan dan
Lingkungannya. (Ter.). Jakarta:Rajawali Pers.
Conrad Phillip Kottak. 2002.
Anthropology. The Exploration of Human Diversity. Ninth Edition. Boston: McGraw
Hill
Parsudi Suparlan. 2005. Suku
Bangsa dan Hubungan Antar Suku Bangsa. Jakarta:YPKIK.
Terima kasih, informasi sangat bermanfaat. Kami menunggu update informasi lainnya.