JENIS-JENIS TEORI BELAJAR |
Dalam proses
mengajar belajar, penguasaan seorang guru dan
cara menyampaikannya merupakan syarat yang
sangat essensial. Penguasaan
guru terhadap materi
pelajaran dan pengelolaan
kelas sangatlah penting, namun demikian belum cukup untuk menghasilkan pembelajaran
yang optimal. Selain menguasai materi
matematika guru sebaiknya menguasai tentang teori-teori
belajar, agar dapat
mengarahkan peserta didik berpartisipasi secara intelektual dalam belajar,
sehingga belajar menjadi bermakna bagi siswa. Hal
ini sesuai dengan isi
lampiran Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 16
Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik
dan Kompetensi Guru yang
menyebutkan bahwa penguasaan
teori belajar dan
prinsip-prinsip pembelajaran
yang mendidik menjadi
salah satu unsur
kompetensi pedagogik yang harus dimiliki guru.
Jika seorang guru akan menerapkan suatu teori belajar dalam proses belajar mengajar,
maka guru tersebut harus memahami seluk beluk teori belajar
tersebut sehingga selanjutnya
dapat merancang dengan
baik bentuk proses
belajar mengajar yang
akan dilaksanakan. Adapaun pengertian
Teori Belajar adalah teori yang mempelajari perkembangan intelektual
(mental) siswa.
Penjelasan
berikut merangkum berbagai jenis Teori
belajar, antara lain:
Terdapat dua
aliran dalam psikologi
belajar, yakni aliran
psikologi tingkah laku (behavioristic) dan aliran psikologi
kognitif.
1. TEORI BELAJAR BEHAVIORISTIK
Psikologi
belajar atau disebut juga dengan
teori belajar adalah teori
yang mempelajari perkembangan
intelektual (mental) individu (Suherman, dkk:
2001: 30). Didalamnya terdapat dua hal, yaitu 1) uraian
tentang apa yang terjadi
dan diharapkan terjadi
pada intelektual; dan
2) uraian tentang
kegiatan intelektual anak
mengenai hal-hal yang bisa dipikirkan
pada usia tertentu. Dikenal dua
teori belajar, yaitu
teori belajar tingkah
laku (behaviorism) dan
teori belajar kognitif. Teori
belajar tingkah laku
dinyatakan oleh Orton
(1987: 38) sebagai
suatu keyakinan bahwa
pembelajaran terjadi melalui
hubungan stimulus (rangsangan) dan
respon (response). Berikut
dipaparkan empat teori
belajar tingkah laku yaitu
teori belajar dari Thorndike,
Skinner, Pavlov, dan Bandura.
a. Teori Belajar dari Thorndike
Edward Lee
Thorndike (1874 –
1949) mengemukakan beberapa
hukum belajar yang
dikenal dengan sebutan
Law of effect.
Belajar akan lebih berhasil bila respon siswa terhadap suatu stimulus
segera diikuti dengan
rasa senang atau
kepuasan. Rasa senang
atau kepuasan ini
bisa timbul sebagai akibat anak
mendapatkan pujian atau ganjaran
lainnya. Stimulus ini termasuk reinforcement. Setelah
anak berhasil melaksanakan
tugasnya dengan tepat
dan cepat, pada
diri anak muncul
kepuasan diri sebagai akibat sukses yang diraihnya. Anak
memperoleh suatu kesuksesan yang pada gilirannya akan mengantarkan dirinya ke
jenjang kesuksesan berikutnya.
Teori belajar
stimulus-respon yang dikemukakan oleh Thorndike ini disebut juga teori
belajar koneksionisme.Pada
hakikatnya belajar merupakan
proses pembentukan hubungan antara stimulus dan respon. Terdapat beberapa dalil atau
hukum yang terkait dengan teori koneksionisme yaitu hukum
kesiapan (law of readiness),
hukum latihan (law of exercise) dan hukum akibat (law of effect).
1)
Hukum kesiapan (law
of readiness) menjelaskan
kesiapan seorang anak
dalam melakukan suatu
kegiatan. Seorang anak
yang mempunyai kecenderungan
untuk bertindak atau
melakukan kegiatan tertentu
kemudian melakukan kegiatan
tersebut, maka tindakannya
akan melahirkan kepuasan
bagi dirinya. Tindakan-tindakan lain
yang dia lakukan
tidak menimbulkan kepuasan bagi
dirinya.
2)
Hukum latihan (law
of exercise) menyatakan
bahwa jika hubungan stimulus- respon sering
terjadi, akibatnya hubungan
akan semakin kuat, sedangkan makin jarang hubungan stimulus-respon dipergunakan, maka makin lemah
hubungan yang terjadi.
Hukum latihan pada
dasarnya menggunakan dasar bahwa
stimulus dan respon
akan memiliki hubungan satu
sama lain secara
kuat, jika proses pengulangan
sering terjadi, makin
banyak kegiatan ini
dilakukan maka hubungan yang terjadi akan
bersifat otomatis. Seorang
anak yang dihadapkan
pada suatu persoalan yang
sering ditemuinya akan
segera melakukan tanggapan secara
cepat sesuai dengan
pengalamannya pada waktu sebelumnya.
3)
Hukum akibat (law
of effect) menjelaskan
bahwa apabila asosiasi
yang terbentuk antara stimulus dan
respon diikuti oleh suatu
kepuasan maka asosiasi akan semakin
meningkat. Hal ini
berarti bahwa kepuasan
yang terlahir dari adanya
ganjaran dari guru akan memberikan kepuasan bagi anak, dan anak cenderung untuk
berusaha melakukan atau meningkatkan apa yang telah dicapainya itu. Selanjutnya Thorndike mengemukakan hukum
tambahan sebagai berikut:
1) Hukum reaksi bervariasi (law of multiple
response)
Individu diawali
dengan proses trial
and error yang
menunjukkan bermacam- macam respon
sebelum memperoleh respon yang tepat
dalam memecahkan masalah yang
dihadapi.
2) Hukum sikap (law of attitude)
Perilaku
belajar seseorang tidak
hanya ditentukan oleh
hubungan stimulus dan
respon saja, tetapi
juga ditentukan oleh
keadaan yang ada
dalam diri individu baik
kognitif, emosi, sosial, maupun psikomotornya.
3) Hukum aktivitas berat sebelah (law of prepotency element)
Individu dalam
proses belajar memberikan
respons pada stimulus
tertentu saja sesuai dengan persepsinya terhadap keseluruhan situasi
(respon selektif).
4) Hukum respon melalui analogi (law of response
by analogy)
Individu dapat
melakukan respons pada
situasi yang belum
pernah dialami karena
individu sesungguhnya dapat
menghubungkan situasi yang
belum pernah dialami
dengan situasi lama
yang pernah dialami
sehingga terjadi transfer
atau perpindahan unsur-unsur yang
telah dikenal ke
situasi baru. Semakin
banyak unsur yang
sama, maka transfer akan semakin mudah.
5) Hukum perpindahan asosiasi (law of
associative shifting)
Proses peralihan dari
situasi yang dikenal
ke situasi yang
belum dikenal dilakukan
secara bertahap dengan
cara menambahkan sedikit
demi sedikit unsur lama.
Selain menambahkan
hukum-hukum baru, dalam
perjalanan penyampaian teorinya,
Thorndike mengemukakan revisi hukum belajar antara lain:
1) Hukum
latihan ditinggalkan karena
ditemukan pengulangan saja
tidak cukup untuk
memperkuat hubungan stimulus-respons, sebaliknya
tanpa pengulangan belum tentu
akan memperlemah hubungan stimulus-respons.
2) Hukum
akibat (law of
effect) direvisi, karena
dalam penelitiannya lebih lanjut ditemukan bahwa hanya
sebagian saja dari hukum
ini yang benar. Jika diberikan hadiah
(reward) maka akan
meningkatkan hubungan stimulus-respons, sedangkan jika diberikan
hukuman (punishment) tidak berakibat apa-apa
3) Syarat
utama terjadinya hubungan
stimulus-respons bukan kedekatan,
tetapi adanya saling sesuai antara stimulus dan respons.
4) Akibat
suatu perbuatan dapat menular
baik pada bidang
lain maupun pada individu lain.
Implikasi dari
aliran pengaitan ini dalam
kegiatan belajar mengajar sehari-hari adalah bahwa:
1) Untuk
menjelaskan suatu konsep,
guru sebaiknya mengambil contoh
yang sekiranya sudah
sering dijumpai dalam
kehidupan sehari-hari. Alat peraga
dari alam sekitar akan lebih
dihayati.
2) Metode
pemberian tugas, metode
latihan (drill dan
practice) akan lebih
cocok untuk penguatan
dan hafalan. Dengan
penerapan metode tersebut siswa akan
lebih banyak mendapatkan
stimulus sehingga respon
yang diberikan pun akan lebih
banyak.
3) Hierarkis
penyusunan komposisi materi
dalam kurikulum merupakan
hal yang penting.Materi disusun
dari materi yang
mudah, sedang, dan
sukar sesuai dengan tingkat
kelas, dan tingkat
sekolah. Penguasaan materi
yang lebih mudah sebagai
akibat untuk dapat
menguasai materi yang
lebih sukar. Dengan kata
lain topik (konsep)
prasyarat harus dikuasai
dulu agar dapat memahami topik
berikutnya.
b. Teori Belajar Pavlov
Pavlov terkenal dengan
teori belajar klasik.
Pavlov mengemukakan konsep
pembiasaan (conditioning). Terkait
dengan kegiatan belajar
mengajar, agar siswa belajar dengan
baik maka harus dibiasakan.
Misalnya, agar siswa mengerjakan
soal pekerjaan rumah
dengan baik, biasakanlah dengan memeriksanya, menjelaskannya, atau
memberi nilai terhadap
hasil pekerjaannya.
c. Teori Belajar
Skinner
Burhus Frederic
Skinner menyatakan bahwa
ganjaran atau penguatan mempunyai peranan yang
amat penting dalam
proses belajar. Terdapat
perbedaan antara ganjaran
dan penguatan. Ganjaran
merupakan respon yang
sifatnya menggembirakan dan
merupakan tingkah laku
yang sifatnya subjektif,
sedangkan penguatan merupakan
sesuatu yang mengakibatkan meningkatnya kemungkinan
suatu respon dan
lebih mengarah pada
hal-hal yang dapat diamati dan diukur.
Skinner menyatakan
bahwa penguatan terdiri
atas penguatan positif
dan penguatan negatif. Penguatan dapat
dianggap sebagai stimulus positif, jika penguatan tersebut
seiring dengan meningkatnya perilaku
anak dalam melakukan pengulangan
perilakunya itu. Dalam
hal ini penguatan
yang diberikan pada anak memperkuat
tindakan anak, sehingga
anak semakin sering
melakukannya. Contoh penguatan
positif diantaranya adalah
pujian yang diberikan
pada anak. Sikap
guru yang bergembira pada saat
anak menjawab pertanyaan,
merupakan penguatan positif pula. Untuk
mengubah tingkah laku anak
dari negatif menjadi
positif, guru perlu
mengetahui psikologi yang
dapat digunakan untuk
memperkirakan (memprediksi) dan mengendalikan tingkah
laku anak. Guru
di dalam kelas
mempunyai tugas untuk mengarahkan
anak dalam aktivitas belajar, karena
pada saat tersebut,
kontrol berada pada
guru, yang berwenang
memberikan instruksi ataupun larangan pada anak didiknya.
Penguatan akan
berbekas pada diri
anak. Mereka yang
mendapat pujian setelah
berhasil menyelesaikan tugas
atau menjawab pertanyaan
biasanya akan berusaha
memenuhi tugas berikutnya
dengan penuh semangat. Penguatan yang berbentuk hadiah atau pujian akan memotivasi anak untuk rajin belajar
dan mempertahankan prestasi yang diraihnya. Penguatan seperti ini
sebaiknya segera diberikan
dan tak perlu
ditunda-tunda. Karena penguatan akan berbekas pada anak, sedangkan hasil penguatan diharapkan
positif, maka penguatan yang
diberikan tentu harus
diarahkan pada respon anak
yang benar. Janganlah memberikan
penguatan atas respon anak jika respon tersebut sebenarnya tidak diperlukan.
Skinner menambahkan
bahwa jika respon
siswa baik (menunjang
efektivitas pencapaian
tujuan) harus segera
diberi penguatan positif
agar respon tersebut lebih
baik lagi, atau
minimal perbuatan baik itu
dipertahankan. Sebaliknya jika
respon siswa kurang atau
tidak diharapkan sehingga tidak menunjang
tujuan pengajaran, harus segera
diberi penguatan negatif agar respon tersebut
tidak diulangi lagi
dan berubah menjadi
respon yang sifatnya
positif. Penguatan negatif ini
bisa berupa teguran, peringatan, atau sangsi
(hukuman edukatif).
d.
Teori belajar Bandura (Teori Belajar Sosial
/Social Learning Theory)
Bandura mengemukakan bahwa siswa belajar
melalui meniru. Pengertian meniru di
sini bukan berarti
menyontek, tetapi meniru
hal-hal yang dilakukan oleh
orang lain, terutama
guru. Jika tulisan
guru baik, guru berbicara sopan
santun dengan menggunakan
bahasa yang baik
dan benar, tingkah laku
yang terpuji, menerangkan
dengan jelas dan
sistematik, maka siswa akan
menirunya. Jika contoh-contoh yang dilihatnya kurang baik
ia pun menirunya. Dengan
demikian guru harus
menjadi manusia
model yang profesional.
Bandura memandang
tingkah laku manusia
bukan semata-mata refleks
otomatis atas stimulus, melainkan
juga akibat reaksi
yang timbul sebagai
hasil interaksi antara
lingkungan dengan skema
kognitif manusia itu sendiri. Teori belajar
sosial dari Bandura
ini merupakan gabungan
antara teori belajar
behavioristik dengan penguatan
dan psikologi kognitif,
dengan prinsip modifikasi
perilaku. Teori Belajar Sosial
(Social Learning Theory)
dari Bandura didasarkan pada tiga konsep, yaitu:
1) Reciprocal determinism
Pendekatan yang
menjelaskan tingkah laku
manusia dalam bentuk
interaksi timbal-balik yang
terus menerus antara kognitif,
tingkah laku, dan lingkungan.
Orang menentukan/ mempengaruhi tingkahlakunya dengan
mengontrol lingkungan, tetapi
orang itu juga
dikontrol oleh kekuatan
lingkungan itu.
2) Beyond reinforcement
Bandura memandang
teori Skinner dan
Hull terlalu bergantung
pada reinforcement. Jika setiap
unit respon sosial yang kompleks
harus dipilah-pilah untuk
direforse satu persatu,
bisa jadi orang
malah tidak belajar apapun. Menurutnya,
reinforcement penting dalam
menentukan apakah suatu tingkah laku
akan terus terjadi
atau tidak, tetapi itu
bukan satu-satunya pembentuk
tingkah laku. Orang dapat belajar melakukan sesuatu hanya dengan mengamati dan kemudian mengulang apa yang dilihatnya.
Belajar melalui
observasi tanpa ada
reinforcement yang
terlibat, berarti tingkah laku ditentukan oleh antisipasi konsekuensi.
3) Self-regulation/cognition
Teori belajar
tradisional sering terhalang
oleh ketidaksenangan atau ketidakmampuan mereka
untuk menjelaskan proses
kognitif. Konsep bandura
menempatkan manusia sebagai pribadi yang
dapat mengatur diri sendiri (self regulation),
mempengaruhi tingkah laku
dengan cara mengatur lingkungan,
menciptakan dukungan kognitif,
dan mengadakan onsekuensi
bagi bagi tingkah lakunya
sendiri.
Prinsip
dasar belajar sosial (social learning)
adalah:
1) Sebagian
besar dari yang
dipelajari manusia terjadi
melalui peniruan (imitation) dan
penyajian contoh perilaku (modeling).
2) Dalam hal ini, seorang
siswa mengubah perilaku sendiri
melalui penyaksian cara orang/sekelompok orang
yang mereaksi/merespon sebuah stimulus tertentu.
3) Siswa
dapat mempelajari respons-respons baru
dengan cara pengamatan terhadap perilaku
contoh dari orang
lain, misalnya: guru/orang
tuanya. Pendekatan teori belajar
sosial terhadap proses
perkembangan sosial dan moral siswa ditekankan pada perlunya
pembiasaan merespons (conditioning) dan peniruan (imitation).
Teori belajar
sosial memiliki banyak
implikasi untuk penggunaan
di dalam kelas, yaitu:
1) Siswa sering belajar hanya dengan mengamati
orang lain, yaitu guru.
2) Menggambarkan konsekuensi perilaku yang dapat
secara efektif meningkatkan perilaku yang
sesuai dan menurunkan
yang tidak pantas.
Hal ini dapat melibatkan berdiskusi dengan pelajar
tentang imbalan dan konsekuensi dari berbagai perilaku.
3) Modeling
menyediakan alternatif untuk
membentuk perilaku baru
untuk mengajar. Untuk mempromosikan
model yang efektif,
seorang guru harus memastikan bahwa
empat kondisi esensial
ada, yaitu perhatian,
retensi, motor reproduksi, dan motivasi
4) Guru
dan orangtua harus
menjadi model perilaku
yang sesuai dan
berhati-hati agar mereka tidak
meniru perilaku yang tidak pantas,
5) Siswa
harus percaya bahwa mereka mampu menyelesaikan tugas-tugas
sekolah. Sehingga sangat
penting untuk mengembangkan
rasa efektivitas diri
untuk siswa. Guru
dapat meningkatkan rasa
efektivitas diri siswa dengan
cara menumbuhkan rasa
percaya diri siswa,
memperlihatkan pengalaman
orang lain menjadi
sukses, danmenceritakan pengalaman
sukses guru atau
siswa itu sendiri.
6) Guru harus
membantu siswa menetapkan harapan yang realistis untuk prestasi akademiknya.
Guru harus memastikan bahwa target
prestasi siswa tidak lebih rendah dari potensi siswa yang bersangkutan.
7) Teknik pengaturan diri menyediakan
metode yang efektif untuk meningkatkan perilaku siswa.
2.
TEORI BELAJAR VYGOTSKY
Menurut pandangan
konstruktivisme tentang belajar,
individu akan menggunakan
pengetahuan siap dan
pengalaman pribadiyang telah
dimilikinya untuk membantu
memahami masalah atau
materi baru. King
(1994) menyatakan bahwa individu
dapat membuat inferensi
tentang informasi baru itu, menarik
perspektif dari beberapa
aspek pada pengetahuan
yangdimilikinya, mengelaborasi materi
baru dengan menguraikannya secara rinci, dan menggeneralisasi hubungan
antara materi baru dengan informasi yang
telah ada dalam memori siswa.
Aktivitas mental seperti
inilah yang membantu
siswa mereformulasi informasi
baru atau merestrukturisasi pengetahuan yang
telah dimilikinya menjadi
suatu struktur kognitif
yang lebih luas/lengkap sehingga mencapai pemahaman mendalam.
Lev Semenovich
Vygotsky merupakan tokoh
penting dalam konstruktivisme sosial. Vygotsky
menyatakan bahwa siswa
dalam mengkonstruksi suatu
konsep perlu memperhatikan
lingkungan sosial. Ada dua konsep
penting dalam teori
Vygotsky, yaitu Zone of Proximal Development (ZPD) dan scaffolding. Zone of
Proximal Development (ZPD)
merupakan jarak antara
tingkat perkembangan aktual (yang
didefinisikan sebagai kemampuan
pemecahan masalah secara mandiri)
dan tingkat perkembangan potensial (yang didefinisikan sebagai kemampuan
pemecahan masalah di
bawah bimbingan orang
dewasa atau melalui
kerjasama dengan teman
sejawat yang lebih
mampu). Yang dimaksud dengan orang
dewasa adalah guru atau orang tua.
Scaffolding merupakan
pemberian sejumlah bantuan
kepada siswa selama
tahap- tahap awal pembelajaran,
kemudian mengurangi bantuan
dan memberikan kesempatan untuk
mengambil alih tanggung jawab
yang semakin besar setelah
ia dapat melakukannya. Bantuan tersebut dapat berupa petunjuk,
dorongan, peringatan, menguraikan
masalah ke dalam
langkah-langkah pemecahan, memberikan contoh, dan tindakan-tindakan lain
yang memungkinkan siswa itu belajar
mandiri
Berdasarkan uraian
di atas, Vygotsky
menekankan bahwa pengkonstruksian pengetahuan seorang
individu dicapai melalui
interaksi sosial. Proses pengkonstruksian pengetahuan
seperti yang dikemukakan
Vygotsky paling tidak dapat
diilustrasikan dalam beberapa
tahap seperti pada
Gambar 2. Tahap perkembangan aktual
(Tahap I) terjadi
pada saat siswa
berusaha sendiri menyudahi
konflik kognitif yang
dialaminya. Perkembangan aktual
ini dapat mencapai
tahap maksimum apabila
kepada mereka dihadapkan masalah
menantang sehingga terjadinya
konflik kognitif di
dalam dirinya yang
memicu dan memacu
mereka untuk menggunakan
segenap pengetahuan dan pengalamannya dalam menyelesaikan masalah tersebut.
Perkembangan potensial
(Tahap II) terjadi pada
saat siswa berinteraksi dengan pihak lain
dalam komunitas kelas
yang memiliki kemampuan
lebih, seperti teman
dan guru, atau
dengan komunitas lain
seperti orang tua.
Perkembangan potensial ini akan mencapai
tahap maksimal jika pembelajaran dilakukan secara
kooperatif (cooperative learning) dalam
kelompok kecil dua
sampai empat orang
dan guru melakukan intervensi
secara proporsional dan terarah. Dalam
hal ini guru dituntut
terampil menerapkan teknik
scaffolding yaitu membantu kelompok secara
tidak langsung menggunakan
teknik bertanya dan
teknik probing yang efektif, atau memberikan petunjuk (hint) seperlunya.
Proses pengkonstruksian pengetahuan
ini terjadi rekonstruksi mental
yaitu berubahnya struktur kognitif
dari skema yang
telah ada menjadi
skema baru yang lebih lengkap. Proses internalisasi
(Tahap III) menurut Vygotsky
merupakan aktivitas mental tingkat
tinggi jika terjadi
karena adanya interaksi
sosial. Jika dikaitkan dengan
teori perkembanga mental
yang dikemukakan Piaget, internalisasi merupakan proses penyeimbangan struktur-struktur internal dengan masukan-masukan eksternal.
Proses kognitif seperti
ini, pada tingkat perkembangan yang lebih
tinggi diakibatkan oleh
rekonseptualisasi terhadap masalah
atau informasi sedemikian
sehingga terjadi keseimbangan (keharmonisan) dari
apa yang sebelumnya
dipandang sebagai pertentangan
atau konflik. Pada level ini, diperlukan intervensi yang dilakukan
secara sengaja oleh guru
atau yang lainnya
sehingga proses asimilasi
dan akomodasi berlangsung dan mengakibatkan terjadinya
keseimbangan (equilibrium).
Aplikasi pemikiran
Vygotsky untuk mempelajari
matematika menumbuhkan pemahaman
matematika dari koneksi pemikiran dengan
bahasa matematika yang baru dalam mengkreasipengetahuan. Mengkonstruksi pengetahuan
merupakan fokus yang krusial
dari pembelajaran Matematika.
Vygotsky percaya bahwa siswa belajar
untuk menggunakan bahasa
baru dengan internalisasi
pengetahuan dari kata yang mereka
katakan, pengembangan budaya
siswa dari pengetahuan kata dua
proses fungsi. Pertama,
pada tingkat sosial
dan kedua, pada
tingkat individual dimana
pengetahuan kata digeneralisasikan sebagai
pemahaman.
Siswa
menggunakandan
menginternalisasikan
kata-kata baru yang
saat itu diperoleh dari
orang lain. Mereka
selalu menemukan diri
mereka sendiri dalam
Zona Pengembangan Proksimal (ZPD)
sebagai pelajaran baru. ZPD merupakan tempat
pengetahuan seseorang di
antara pengetahuan saat
itu dengan pengetahuan
potensialnya.
3.
TEORI BELAJAR VAN HIELE
Dalam pembelajaran geometri
terdapat teori belajar yang dikemukakan oleh van Hiele
(1954) yang menguraikan
tahap-tahap perkembangan mental anak
dalam geometri. van Hiele
adalah seorang guru
bangsa Belanda yang
mengadakan penelitiandalam
pembelajaran geometri. Penelitian
yang dilakukan van
Hiele melahirkan beberapa kesimpulan
mengenai tahap-tahap perkembangan kognitif anak dalam
memahami geometri. van
Hielemenyatakan bahwa terdapat 5 tahap
pemahaman geometri yaitu:
pengenalan, analisis, pengurutan,
deduksi, dan akurasi.
a) Tahap Visualisasi
(Pengenalan)
Pada tingkat ini,
siswa memandang sesuatu
bangun geometri sebagai
suatu keseluruhan (holistic). Pada
tingkat ini siswa
belum memperhatikan komponen- komponen
dari masing-masing bangun. Dengan
demikian, meskipun pada tingkat ini
siswa sudah mengenal
nama sesuatu bangun, siswa belum
mengamati ciri-ciri dari bangun
itu. Sebagai contoh,
pada tingkat ini
siswa tahu suatu
bangun bernama persegipanjang, tetapi
ia belum menyadari
ciri-ciri bangun persegipanjang
tersebut.
b) Tahap Analisis
(Deskriptif)
Pada tingkat ini siswa sudah mengenal bangun-bangun
geometri berdasarkan ciri- ciri
dari masing-masing bangun.
Dengan kata lain, pada
tingkat ini siswa
sudah terbiasa menganalisis bagian-bagian
yang ada pada
suatu bangun dan mengamati sifat-sifat
yang dimiliki oleh
unsur-unsur tersebut. Sebagai
contoh, pada tingkat ini
siswa sudah bisa
mengatakan bahwa suatu
bangun merupakan persegipanjang karena bangun
itu “mempunyai empat
sisi, sisi-sisi yang berhadapan
sejajar, dan semua sudutnya siku-siku.”
c) Tahap Deduksi Formal
(Pengurutan atau Relasional)
Pada tingkat
ini, siswa sudah
bisa memahami hubungan
antar ciri yang
satu dengan ciri yang lain pada sesuatu bangun. Sebagai contoh, pada
tingkat ini siswa sudah bisa mengatakan
bahwa jika pada
suatu segiempat sisi-sisi
yang berhadapan sejajar,
maka sisi-sisi yang berhadapan itu sama panjang. Di samping itu
pada tingkat ini
siswa sudah memahami
pelunya definisi untuk
tiap-tiap bangun. Pada tahap
ini, siswa juga
sudah bisa memahami
hubungan antara bangun
yang satu dengan bangun
yang lain. Misalnya pada
tingkat ini siswa sudah
bisa memahami bahwa
setiap persegi adalah
juga persegipanjang, karena persegi
juga memiliki ciri-ciri persegipanjang.
d) Tahap Deduksi
Pada tingkat
ini (1) siswa sudah dapat
mengambil kesimpulan secara deduktif, yakni menarik
kesimpulan dari hal-hal
yang bersifat khusus, (2)
siswa mampu memahami
pengertian-pengertian pangkal, definisi-definisi, aksioma-aksioma, dan terorema-teorema
dalam geometri, dan (3) siswa sudah mulai
mampu menyusun bukti-bukti secara
formal. Ini berarti
bahwa pada tingkat
ini siswa sudah memahami proses
berpikir yang bersifat
deduktif-aksiomatis dan mampu menggunakan
proses berpikir tersebut.
Sebagai contoh
untuk menunjukkan bahwa
jumlah sudut-sudut dalam jajargenjang adalah
360° secara deduktif
dibuktikan dengan menggunakan prinsip kesejajaran. Pembuktian
secara induktif yaitu dengan
memotong-motong sudut-sudut
benda jajargenjang, kemudian
setelah itu ditunjukkan
semua sudutnya membentuk
sudut satu putaran
penuh atau 360°
belum tuntas dan belum
tentu tepat. Seperti
diketahui bahwa pengukuran
itu pada dasarnya mencari nilai
yang paling dekat
dengan ukuran yang sebenarnya. Jadi, mungkin saja dapat
keliru dalam mengukur sudut- sudut jajargenjang tersebut. Untuk itu pembuktian
secara deduktif merupakan cara yang tepat dalam pembuktian
pada matematika.
Anak pada tahap
ini telah mengerti pentingnya
peranan unsur-unsur yang tidak didefinisikan, di
samping unsur-unsur yang
didefinisikan, aksioma atau
problem, dan teorema.
Anak pada tahap
ini belum memahami
kegunaan dari suatu
sistem deduktif. Oleh
karena itu, anak
pada tahap ini
belum dapat menjawab
pertanyaan: “mengapa sesuatu
itu perlu disajikan
dalam bentuk teorema atau dalil?”
e) Tahap Akurasi (tingkat
metamatematis atau keakuratan)
Pada tingkat ini anak sudah memahami betapa pentingnya
ketepatan dari prinsip- prinsip
dasar yang melandasi
suatu pembuktian. Sudah
memahami mengapa sesuatu itu
dijadikan postulat atau
dalil. Dalam matematika
kita tahu bahwa betapa
pentingnya suatu sistem
deduktif. Tahap keakuratan
merupakan tahap tertinggi dalam memahami geometri.
Pada tahap
ini memerlukan tahap
berpikir yang kompleks
dan rumit, siswa mampu
melakukan penalaran secara
formal tentang sistem-sistem
matematika (termasuk
sistem-sistem geometri), tanpa
membutuhkan model-model yang konkret sebagai acuan. Pada tingkat
ini, siswa memahami bahwa dimungkinkan adanya lebih
dari satu geometri.
Sebagai contoh, pada
tingkat ini siswa menyadari
bahwa jika salah satu aksioma
pada suatu sistem
geometri diubah, maka seluruh geometri tersebut juga
akan berubah. Sehingga,
pada tahap ini siswa
sudah memahami adanya
geometri-geometri yang lain
di samping geometri Euclides.
Selain mengemukakan
mengenai tahap-tahap perkembangan
kognitif dalam memahami geometri,
van Hiele juga
mengemukakan bahwa terdapat
tiga unsur yang utama
pembelajaran geometri yaitu
waktu, materi pembelajaran dan metode
penyusun yang apabila
dikelola secara terpadu
dapat mengakibatkan meningkatnya kemampuan
berpikir anak kepada tahap
yang lebih tinggi
dari tahap yang sebelumnya.
Menurut van
Hiele, semua anak
mempelajari geometri dengan
melalui tahap-tahap tersebut,
dengan urutan yang
sama, dan tidak
dimungkinkan adanya tingkat
yang diloncati. Akan
tetapi, kapan seseorang
siswa mulai memasuki suatu tingkat
yang baru tidak
selalu sama antara
siswa yang satu
dengan siswa yang
lain. Proses perkembangan dari tahap
yang satu ke tahap berikutnya terutama tidak
ditentukan oleh umur
atau kematangan biologis,
tetapi lebih bergantung pada
pengajaran dari guru dan proses belajar
yang dilalui siswa. Bila dua
orang yang mempunyai
tahap berpikir berlainan satu
sama lain, kemudian saling bertukar pikiran maka
kedua orang tersebut tidak akan mengerti.
Menurut van
Hiele seorang anak
yang berada pada
tingkat yang lebih
rendah tidak mungkin dapat
mengerti atau
memahami materi yang
berada pada tingkat
yang lebih tinggi
dari anak tersebut. Kalaupun anak
itu dipaksakan untuk memahaminya,
anak itu baru bisa
memahami melalui hafalan
saja bukan melalui pengertian. Adapun
fase-fase pembelajaran yang
menunjukkan tujuan belajar
siswa dan peran guru dalam pembelajaran
dalam mencapai tujuan itu. Fase-fase pembelajaran tersebut
adalah: 1) fase
informasi, 2) fase orientasi, 3)
fase eksplisitasi,
4) fase orientasi
bebas, dan 5)
fase integrasi.
Berdasar hasil
penelitian di beberapa
negara, tingkatan dari
van Hiele berguna untuk menggambarkan perkembangan
konsep geometrik siswa
dari SD sampai Perguruan Tinggi.
Van de
Walle (1990:270) membuat
deskripsi aktivitas yang
lebih sederhana dibandingkan dengan
deskripsi yang dibuat
Crowley. Menurut Van
de Walle aktivitas pembelajaran untuk masing-masing tiga tahap
pertama adalah:
a. Aktivitas tahap 0 (visualisasi)
Aktivitas
siswa pada tahap ini antara lain:
1)
Melibatkan penggunaan model fisik yang dapat digunakan
untuk memanipulasi.
2)
Melibatkan berbagai contoh
bangun-bangun yang bervariasi
dan berbeda sehingga sifat yang tidak relevan dapat diabaikan.
3) Melibatkan
kegiatan memilih, mengidentifikasi dan
mendeskripsikan berbagai bangun,
dan
4) Menyediakan kesempatan untuk membentuk, membuat, menggambar, menyusun atau
menggunting bangun.
b. Aktivitas tahap 1 (analisis)
Aktivitas
siswa pada tahap ini antara lain:
1)
Menggunakan model-model pada tahap 0, terutama model-model yang dapat digunakan untuk
mendeskripsikan berbagai sifat bangun.
2)
Mulai lebih menfokuskan pada sifat-sifat dari pada sekedar identifikasi
3)
Mengklasifikasi bangun berdasar
sifat-sifatnya berdasarkan nama bangun
tersebut.
4)
Menggunakan pemecahan masalah
yang melibatkan sifat-sifat bangun.
c. Aktivitas tahap 2 (deduksi informal)
Aktivitas siswa pada tahap
ini antara lain:
1) Melanjutkan pengklasifikasian model dengan
fokus pada pendefinisian sifat, membuat
daftar sifat dan
mendiskusikan sifat yang
perlu dan cukup untuk kondisi
suatu bangun atau konsep.
2) Memuat penggunaan bahasa yang bersifat
deduktif informal, misalnya semua,
suatu, dan jika – maka, serta mengamati validitas konversi suatu relasi.
3) Menggunakan
model dan gambar
sebagai sarana untuk
berpikir dan mulai mencari
generalisasi atau kontra
4. TEORI BELAJAR AUSUBEL
David Ausubel adalah seorang ahli psikologi pendidikan. Ausubel
memberi penekanan pada
proses belajar yang
bermakna. Teori belajar
Ausubel terkenal dengan
belajar bermakna dan
pentingnya pengulangan sebelum belajar
dimulai. Menurut Ausubel belajar
dapat dikalifikasikan ke dalam dua
dimensi. Dimensi pertama
berhubungan dengan cara informasi atau materi pelajaran
yang disajikan pada
siswa melalui penerimaan
atau penemuan. Dimensi kedua
menyangkut cara bagimana
siswa dapat mengaitkan informasi itu pada
struktur kognitif yang telah ada, yang meliputi fakta, konsep, dan generalisasi yang
telah dipelajari dan diingat oleh siswa.
Pada tingkat
pertama dalam
belajar, informasi dapat
dikomunikasikan pada siswa
baik dalam bentuk
belajar penerimaan yang
menyajikan informasi itu dalam
bentuk final, maupun
dengan bentuk belajar
penemuan yang mengharuskan siswa
untuk menemukan sendiri
sebagian atau seluruh
materi yang akan diajarkan. Pada
tingkat kedua, siswa menghubungkan
atau mengaitkan informasi itu
pada pengetahuan yang
telah dimilikinya, dalam
hal ini terjadi
belajar bermakna. Akan
tetapi, siswa itu
dapat juga hanya
mencoba-coba menghafalkan informasi
baru itu, tanpa menghubungkannya pada konsep-konsep yang telah ada dalam
struktur kognitifnya, dalam hal ini
terjadi belajar hafalan
Belajar bermakna
merupakan suatu proses dikaitkannya informasi baru
pada konsep-konsep yang
relevan yang terdapat
dalam struktur kognitif
seseorang. Dalam belajar
bermakna informasi baru
diasimilasikan pada subsume-subsume yang
telah ada. Ausubel
membedakan antara belajar
menerima dengan belajar
menemukan. Pada belajar
menerima siswa hanya menerima, jadi
tinggal menghapalkannya,
sedangkan pada belajar
menemukan konsep ditemukan oleh
siswa, jadi siswa
tidak menerima pelajaran
begitu saja. Selain
itu terdapat perbedaan
antara belajar menghafal dengan
belajar bermakna, pada
belajar menghapal siswa menghafalkan materi yang sudah
diperolehnya, sedangkan pada
belajar bermakna materi
yang telah diperoleh
itu dikembangkannya dengan keadaan lain sehingga belajarnya lebih
dimengerti.
Menurut Ausubel
(dalam Dahar, 1988:116)
prasyarat-prasyarat belajar bermakna
ada dua sebagai
berikut. (1) Materi
yang akan dipelajari
harus bermakna secara
potensial; kebermaknaan materi
tergantung dua faktor,
yakni materi harus
memiliki kebermaknaan logis
dan gagasan-gagasan yang relevan harus
terdapat dalam struktur
kognitif siswa. (2)
Siswa yang akan belajar
harus bertujuan untuk
melaksanakan belajar bermakna.
Dengan demikian mempunyai kesiapan dan
niat untuk belajar bermakna.
Prinsip-prinsip dalam teori
belajar Ausubel
Menurut Ausubel faktor yang paling penting yang mempengaruhi belajar adalah apa yang
sudah diketahui siswa.
Jadi agar terjadi
belajar bermakna, konsep
baru atau informasi baru
harus dikaitkan dengan
konsep-konsep yang telah
ada dalam struktur
kognitif siswa. Dalam
menerapkan teori Ausubel
dalam mengajar, terdapat konsep-konsep atau prinsip-prinsip yang harus
diperhatikan. Prinsip-prinsip
tersebut adalah:
a.Pengaturan Awal
(advance organizer). Pengaturan
Awal mengarahkan para siswa
ke materi yang
akan dipelajari dan
mengingatkan siswa pada
materi sebelumnya yang dapat
digunakanm siswa dalam
membantu menanamkan pengetahuan
baru.
b.Diferensiasi Progresif.
Pengembangan konsep berlangsung
paling baik jika unsur-unsur yang
paling umum,paling inklusif
dari suatu konsep
diperkenalkan terklebih dahulu, dan kemudian barudiberikan hal-hal
yang lebih mendetail dan lebih khusus dari konsep itu. Menurut Sulaiman
(1988: 203) diferensiasi progresif
adalah cara mengembangkan
pokok bahasan melalui penguraian bahan
secara heirarkhis sehingga
setiap bagian dapat
dipelajari secara terpisah
dari satu kesatuan yang besar.
c. Belajar Superordinat.
Selama informasi diterima
dan diasosiasikan dengan konsep dalam
struktur kognitif (subsumsi),
konsep itu tumbuh
dan mengalami diferensiasi. Belajar
superordinat dapat terjadi
apabila konsep-konsep yang telah
dipelajari sebelumnya dikenal
sebagai unsur-unsur dari suatu
konsep yang lebih luas, lebih inklusif.
d. Penyesuaian Integratif
(Rekonsiliasi Integratif). Mengajar bukan
hanya urutan menurut diferensiasi
progresif yang diperhatikan,
melainkan juga harus diperlihatkan bagaimana konsep-konsepbaru dihubungkan pada konsep- konsep superordinat. Guru
harus memperlihatkan secara
eksplisit bagaimana arti-arti baru
dibandingkan dan dipertentangkan dengan
arti-arti sebelumnya yang lebih
sempit, dan bagimana
konsep-konsep yang tingkatannya
lebih tinggi sekarang
mengambil arti baru.
Penerapan Teori Ausubel
dalam Pembelajaran
Untuk menerapkan
teori Ausubel dalam
pembelajaran, Dadang Sulaiman
(1988) menyarankan agar
menggunakan dua fase,
yakni fase perencanaan
dan fase pelaksanaan. Fase
perencanaan terdiri dari
menetapkan tujuan pembelajaran,
mendiagnosis latar belakang
pengetahuan siswa, membuat struktur materi
dan memformulasikan
pengaturan awal. Sedangkan
fase pelaksanaan dalam
pemebelajaran terdiri dari
pengaturan awal, diferensiasi progresif, dan rekonsiliasi
integratif.
5. TEORI BELAJAR BRUNER
Jerome Bruner adalah
seorang ahli psikologi perkembangan dari
Universitas Haevard, Amerika
Serikat, yang telah
mempelopori aliran psikologi belajar kognitif yang memberikan dorrongan agar
pendidikan memberikan perhatian
pada pentingnya pengembangan berpikir. Bruner banyak memberikan pandangan mengenai
perkembangan kognitif manusia,
bagaimana manusia belajar
atau memperoleh pengetahuan,
menyimpan pengetahuan dan mentransformasikan pengetahuan.
Dalam mempelajari manusia,
ia menganggap manusia sebagai
pemroses, pemikir, dan
pencipta informasi. Bruner
dalam teorinya menyatakan
bahwa belajar matematika akan lebih
berhasil jika proses pengajaran diarahkan kepada konsep-konsep dan struktur-struktur yang termuat dalam pokok
bahasan yang diajarkan, disamping hubungan yang
terkait antar konsep-konsep dan
struktur-struktur. Dengan mengenal konsep dan
struktur yang tercakup dalam bahan
yang sedang dibicarakan, anak
akan memahami
materi yang harus dikuasainya itu. Ini menunjukkan
bahwa materi yang
mempunyai suatu pola
atau struktur tertentu
akan lebih mudah
dipahami dan diingat anak.
Menurut Bruner
(dalam Hudoyo, 1990:48) belajar
matematika adalah belajar mengenai konsep-konsep dan struktur-struktur
matematika yang terdapat di dalam materi
yang dipelajari, serta
mencari hubungan antara
konsep-konsep dan struktur- struktur
matematika itu. Siswa
harus dapat menemukan keteraturan dengan cara mengotak-atik bahan-bahan yang berhubungan dengan keteraturan
intuitif yang sudah
dimiliki siswa. Dengan
demikian siswa dalam belajar, haruslah
terlibat aktif mentalnya
agar dapat mengenal
konsep dan struktur dalam materi
yang sedang dibicarakan.
Dengan demikian materi
yang mempunyai suatu pola
atau struktur tertentu akan lebih
mudah dipahami oleh anak.
Dalam bukunya (Bruner, 1960) mengemukakan empat tema
pendidikan, yakni: (1)
Pentingnya arti struktur
pengetahuan. Kurikulum hendaknya
mementingkan struktur pengetahuan,
karena dalam struktur pengetahuan
kita menolong para siswa
untuk melihat. (2)
Kesiapan (readiness) untuk
belajar. Menurut Bruner (1966:29), kesiapan terdiri atas
penguasaan keterampilan-keterampilan yang lebih sederhana yang
memungkinkan seorang untuk
mncapai keterampilan-keterampilan
yang lebih tinggi. (3) Nilai intuisi
dalam proses pendidikan.
Intuisi adalah teknik-teknik
intelektual untuk sampai
pada formulasi-formulasi tentatif tanpa melalui
langkah-langkah analitis untuk
mengetahui apakah formulasi-formulasi itu merupakan kesimpulan-kesimpulan
yang sahih atau tidak, serta
(4) motivasi atau keinginan untuk belajar beserta cara-cara yang dimiliki para
guru untuk merangsang motivasi
itu.
Belajar sebagai Proses
Kognitif
Menurut Bruner
dalam belajar melibatkan tiga proses yang
berlangsung hampir bersamaan.
Ketiga proses tersebut adalah
(1) memperoleh informasi baru,
(2) transformasi informasi, dan
(3) menguji relevan
informasi dan ketepatan pengetahuan. Dalam
belajar informasi baru
merupakan penghalusan dari informasi
sebelumnya yang dimiliki seseorang. Dalam transformasi pengetahuan seseorang memperlakukan
pengetahuan agar cocok
atau sesuai dengan tugas baru.
Jadi, transformasi menyangkut
cara kita memperlakukan
pengetahuan, apakah dengan
cara ekstrapolasi atau
dengan mengubah menjadi bentuk
lain.
Kita menguji relevansi dan
ketepatan pengetahuan dengan minilai apakah
cara kita memperlakukan pengetahuan itu cocok dengan tugas yang ada. Bruner menyebut
pandangannya tentang belajar
atau pertumbuhan kognitif sebagai konseptualisme instrumental . Pandangan ini berpusat
pada dua
prinsip, yaitu: (1) pengetahuan
seseorang tentang alam
didasarkan pada model-model
tentang kenyataan yang
dibangunnya dan (2)
model-model semacam itu
mula-mula diadopsi dari kebudayaan seseorang, kemudian model-model
itu diadaptasi pada kegunaan bagi orang yang bersangkutan. Pendewasaan pertumbuhan
intelektual atau pertumbuhan
kognitif seseorang menurut Bruner
adalah sebagai berikut.
a.
Pertumbuhan intelektual ditunjukkan
oleh bertambahnya ketidak-tergantungan respons
dari sifat stimulus.
Dalam hal ini
ada kalanya seorang
anak mempertahankan suatu
respons dalam lingkungan
stimulus yang berubah-ubah, atau
belajar mengubah responnya dalam lingkungan
stimulus yang tidak berubah.
Melalui pertumbuhan, seseorang memperoleh kebebasan dari pengontrolan stimulus
melalui proses-proses perantara
yang mengubah stimulus sebelum respons.
b.
Pertumbuhan intelektual tergantung
pada bagaimana seseorang menginternalisasi
peristiwa-peristiwa menjdi suatu
sistem simpanan (storage system) yang
sesuai dengan lingkungan.
Sistem inilah yang
memungkinkan peningkatan
kemampuan anak untuk
bertindak di atas
informasi yang diperoleh pada
suatu kesempatan. Ia
melakukan ini dengan
membuat ramalan-ramalan, dan ektrapolasi-ekstrapolasi dari model alam
yang disimpannya.
c.
Pertumbuhan intelektual menyangkut
peningkatan kemampuan seseorang untuk berkata
pada dirinya sendiri
atau pada orang
lain, dengan pertolongan kata-kata dan simbol-simbol, apa
yang telah dilakukan atau apa yang
dilakukan.
Bruner (1966)
mengemukakan bahwa terdapat
tiga sistem keterampilan untuk menyatakan kemampuan-kemampuan secara
sempurna. Ketiga sistem keterampilan itu
adalah yang disebut
tiga cara penyajian
(modes of presents), yaitu:
a. Cara penyajian enaktif
Cara penyajian
enaktif adalah melalui
tindakan, anak terlibat
secara langsung dalam memanipulasi (mengotak-atik )objek,
sehingga bersifat manipulatif. Anak belajar
sesuatu pengetahuan secara
aktif, dengan menggunakan
benda- benda konkret atau
situasi nyata. Dengan
cara ini anak
mengetahui suatu aspek dari
kenyataan tanpa menggunakan
pikiran atau kata-kata.
Cara ini terdiri
atas penyajian kejadian-kejadian
yang lampau melalui respon-respon
motorik. Dalam cara penyajian ini
anak secara langsung terlihat.
b. Cara penyajian ikonik
Cara
penyajian ikonik didasarkan
pada pikiran internal
dimana pengetahuan disajikan melalui
serangkaian gambar-gambar atau
grafik, yang dilakukan
anak berhubungan dengan mental,
yang merupakan gambaran
dari objek-objek yang dimanipulasinya. Anak tidak
langsung memanipulasi objek seperti yang dilakukan siswa
dalam tahap enaktif. Bahasa menjadi
lebih penting sebagai suatu media berpikir.
c. Cara penyajian simbolik
Cara penyajian
simbolik didasarkan pada
sistem berpikir abstrak,
arbitrer, dan lebih fleksibel. Dalam
tahap ini anak
memanipulasi
simbol-simbol atau lambang-lambang objek
tertentu. Anak tidak
lagi terikat dengan
objek-objek pada tahap sebelumnya.
Siswa pada tahap
ini sudah mampu
menggunakan notasi tanpa ketergantungan terhadap objek lain.
Dari hasil
penelitiannya Bruner mengungkapkan dalil-dalil
terkait penguasaan konsep-kosep oleh
anak. Dalil-dalil tersebut
adalah dalil-dalil penyusunan (construction theorem), dalil
notasi (notation theorem), dalil
kekontrasan dan dalil variasi (contrast and variation theorem), dalil pengaitan
(connectivity theorem).
6. TEORI PEMBELAJARAN
SOSIAL
Konsep motivasi
belajar berkaitan erat
dengan prinsip bahwa
perilaku yang memperoleh penguatan(reinforcement) di
masa lalu lebih
memiliki kemungkinan diulang
dibandingkan dengan perilaku yang
tidak memperoleh penguatan
atau perilaku yang
terkena hukuman (punishment). Dalam
kenyataannya, daripada membahas
konsep motivasi belajar,
penganut teori perilaku lebih
memfokuskan pada seberapa
jauh siswa telah
belajar untuk mengerjakan pekerjaan sekolah
dalam rangka mendapatkan
hasil yang diinginkan
(Bandura, 1986 dan Wielkeiwicks, 1995).
7. TEORI BELAJAR
SOSIAL
Dalam dasawarsa
terakhir, penganut teori
konstruktivisme memperluas fokus
tradisionalnya pada pembelajaran individual ke dimensi pembelajaran
kolaboratif dan sosial. Konstruktivisme sosial bisa dipandang sebagai perpaduan
antara aspek-aspek dari karya Piaget dengan karya Bruner dan karya Vyangotsky.
Istilah Konstruktivisme komunal dikenalkan oleh Bryn Holmes di tahun 2001.
Dalam model ini,
"siswa tidak hanya
mengikuti pembelajaran seperti halnya air mengalir
melalui saringan namun
membiarkan mereka membentuk
dirinya." Dalam perkembangannya
muncullah istilah Teori Belajar Sosial dari para pakar pendidikan. Pijakan awal
teori belajar sosial
adalah bahwa manusia
belajar melalui pengamatannya terhadap perilaku
orang lain. Pakar
yang paling banyak
melakukan riset teori
belajar sosial adalah Albert
Bandura dan Bernard Weiner.
Meskipun classical
dan operant conditioning
dalam hal-hal tertentu
masih merupakan tipe penting dari belajar, namun orang
belajar tentang sebagian besar apa yang ia ketahui melalui observasi (pengamatan).
Belajar melalui pengamatan
berbeda dari classical
dan operant conditioning karena
tidak membutuhkan pengalaman
personal langsung dengan
stimuli, penguatan kembali, maupun
hukuman. Belajar melalui
pengamatan secara sederhana melibatkan pengamatan perilaku
orang lain, yang disebut model, dan kemudian meniru perilaku model tersebut.
Baik anak-anak
maupun orang dewasa
belajar banyak hal
dari pengamatan dan
imitasi (peniruan) ini. Anak
muda belajar bahasa,
keterampilan sosial, kebiasaan,
ketakutan, dan banyak perilaku
lain dengan mengamati orang
tuanya atau anak
yang lebih dewasa.
Banyak orang belajar akademik,
atletik, dan keterampilan
musik dengan mengamati
dan kemudian menirukan gueunya.
Menurut psikolog Amerika
Serikat kelahiran Kanada
Albert Bandura, pelopor dalam
studi tentang belajar melalui pengamatan, tipe belajar ini memainkan peran yang
penting dalam perkembangan
kepribadian anak.
Bandura
menemukan bukti bahwa
belajar sifat-sifat seperti
keindustrian, keramahan, pengendalian diri, keagresivan, dan
ketidak sabaran sebagian
dari meniru orang tua, anggota keluarga lain, dan teman-temannya.
8. TEORI BELAJAR GESTALT
Menurut pandangan teori
gestalt seseorng memperoleh
pengetahuan melaui sensasi
atau informasi dengan melihat strukturnya secara menyeluruh kemudian
menyusunya kembali dalam struktur yang sederhana sehnigga lebih mudah dipahami.
Manfaat dari beberapa teori
belajar adalah :
·
Membantu guru untuk memahami bagaimana siswa
belajar
·
Membimbing guru untuk merancang dan
merencanakan proses pembelajaran
·
Memandu guru untuk mengelola kelas
·
Membantu guru untuk mengevaluasi proses,
perilaku guru sendiri serta hasil belajar siswa yang telah dicapai
·
Membantu proses belajar lebih efektif,
efisien dan produktif
·
Membantu
guru dalam memberikan
dukungan dan bantuan
kepada siswa sehingga
dapat mencapai hasil prestasi yang maksimal.
9. TEORI BELAJAR
KONSTRUKTIVISME
Kontruksi berarti
bersifat membangun, dalam
konteks filsafat pendidikan
dapat diartikan Konstruktivisme
adalah suatu upaya membangun tata susunan hidup yang berbudaya modern.
Konstruktivisme merupakan
landasan berpikir (filosofi)
pembelajaran konstektual yaitu bahwa pengetahuan dibangun
oleh manusia sedikit
demi sedikit, yang
hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas dan tidak
sekonyong-konyong.
Pengetahuan bukanlah
seperangkat fakta-fakta, konsep,
atau kaidah yang siap
untuk diambil dan diingat.
Manusia harus mengkontruksi
pengetahuan itu dan
memberi makna melalui pengalaman nyata. Dengan
teori konstruktivisme siswa
dapat berpikir untuk menyelesaikan masalah, mencari
idea dan membuat
keputusan. Siswa akan
lebih paham karena
mereka terlibat langsung
dalam mebina pengetahuan
baru, mereka akan
lebih paham dan
mampu mengapliklasikannya
dalam semua situasi.
Selian itu siswa
terlibat secara langsung
dengan aktif, mereka akan ingat lebih lama semua konsep.
10.
TEORI KECERDASAN GANDA
Teori kecerdasan
ganda (Multiple intelegence)
merupakan teori yang
dikemukakan oleh Howard Gardner
dari Harvard University yang diuraikan pada tahun 1984 dalam buku Frame Of Mind: The
Multiple Intelegence. Pada dasarnya,
teori ini menggabungkan
antara potensi-potensi otak
kanan dan otak
kiri sehingga potensi-potensi tersebut
dapat berjalan optimal. Kecerdasan merupakan
potensi yang dimiliki
seseorang yang dapat
diaktifkan melalui proses belajar, interaksi
dengan keluarga, guru,
teman dan nilai-nilai
budaya yang berkembang. Kecerdasan mengandung
dua aspek pokok
yaitu; kemampuan belajar
dari pengalaman dan beradaptasi terhadap lingkungan.