Pendiri Taman Siswa ini
adalah Bapak Pendidikan Nasional. Lahir di Yogyakarta pada tanggal 2 Mei 1889.
Hari lahirnya, diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional. Ajarannya yang
terkenal ialah tut wuri handayani (di belakang memberi dorongan), ing madya
mangun karsa (di tengah menciptakan peluang untuk berprakarsa), ing ngarsa
sungtulada (di depan memberi teladan). Ia meninggal dunia di Yogyakarta tanggal
28 April 1959 dan dimakamkan di sana. Terlahir dengan nama Raden Mas Soewardi
Soeryaningrat. Ia berasal dari lingkungan keluarga kraton Wakil Presiden
Republik Indonesia (1972- 1978)
Raden Mas Soewardi
Soeryaningrat, saat genap berusia 40 tahun menurut hitungan Tahun Caka,
berganti nama menjadi Ki Hadjar Dewantara. Semenjak saat itu, ia tidak lagi
menggunakan gelar kebangsawanan di depan namanya. Hal ini dimaksudkan supaya ia
dapat bebas dekat dengan rakyat, baik secara fisik maupun hatinya.
Perjalanan hidupnya
benar-benar diwarnai perjuangan dan pengabdian demi kepentingan bangsanya. Ia
menamatkan Sekolah Dasar di ELS (Sekolah Dasar Belanda) Kemudian sempat
melanjut ke STOVIA (Sekolah Dokter Bumiputera), tapi tidak sampai tamat karena
sakit. Kemudian ia bekerja sebagai Lihat Daftar Wartawan wartawan di beberapa
surat kabar antara lain Sedyotomo, Midden Java, De Express, Oetoesan Hindia,
Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer dan Poesara. Pada masanya, ia tergolong penulis
handal. Tulisan-tulisannya sangat komunikatif, tajam dan patriotik sehingga
mampu membangkitkan semangat antikolonial bagi pembacanya.
Selain ulet sebagai seorang
Lihat Daftar Wartawan wartawan muda, ia juga aktif dalam organisasi sosial dan
politik. Pada tahun 1908, ia aktif di seksi propaganda Boedi Oetomo untuk
mensosialisasikan dan menggugah kesadaran masyarakat Indonesia pada waktu itu
mengenai pentingnya persatuan dan kesatuan dalam berbangsa dan bernegara.
Kemudian, bersama Douwes
Dekker (Dr. Danudirdja Setyabudhi) dan dr. Cipto Mangoenkoesoemo, ia mendirikan
Indische Partij (partai politik pertama yang beraliran nasionalisme Indonesia)
pada tanggal 25 Desember 1912 yang bertujuan mencapai Indonesia merdeka.
Mereka berusaha mendaftarkan
organisasi ini untuk memperoleh status badan hukum pada pemerintah kolonial
Belanda. Tetapi pemerintah kolonial Belanda melalui Gubernur Jendral Idenburg
berusaha menghalangi kehadiran partai ini dengan menolak pendaftaran itu pada
tanggal 11 Maret 1913. Alasan penolakannya adalah karena organisasi ini
dianggap dapat membangkitkan rasa nasionalisme rakyat dan menggerakan kesatuan
untuk menentang pemerintah kolonial Belanda. Kemudian setelah ditolaknya
pendaftaran status badan hukum Indische Partij ia pun ikut membentuk Komite
Bumipoetra pada November 1913. Komite itu sekaligus sebagai komite tandingan
dari Komite Perayaan Seratus Tahun Kemerdekaan Bangsa Belanda. Komite
Boemipoetra itu melancarkan kritik terhadap Pemerintah Belanda yang bermaksud
merayakan seratus tahun bebasnya negeri Belanda dari penjajahan Prancis dengan
menarik uang dari rakyat jajahannya untuk membiayai pesta perayaan tersebut.
Sehubungan dengan rencana
perayaan itu, ia pun mengkritik lewat tulisan berjudul Als Ik Eens Nederlander
Was (Seandainya Aku Seorang Belanda) dan Een voor Allen maar Ook Allen voor Een
(Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk Satu Juga). Tulisan Seandainya Aku
Seorang Belanda yang dimuat dalam surat kabar de Expres milik dr. Douwes Dekker
itu antara lain berbunyi:
“Sekiranya aku seorang
Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang
kita sendiri telah merampas kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu,
bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander
memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu. Pikiran untuk menyelenggarakan
perayaan itu saja sudah menghina mereka dan sekarang kita garuk pula
kantongnya. Ayo teruskan penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku seorang
Belanda. Apa yang menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku terutama
ialah kenyataan bahwa bangsa inlander diharuskan ikut mengongkosi suatu
pekerjaan yang ia sendiri tidak ada kepentingannya sedikitpun”.
Akibat karangannya itu,
pemerintah kolonial Belanda melalui Gubernur Jendral Idenburg menjatuhkan
hukuman tanpa proses pengadilan, berupa hukuman internering (hukum buang) yaitu
sebuah hukuman dengan menunjuk sebuah tempat tinggal yang boleh bagi seseorang
untuk bertempat tinggal. Ia pun dihukum buang ke Pulau Bangka. Douwes Dekker
dan Cipto Mangoenkoesoemo merasakan rekan seperjuangan diperlakukan tidak adil.
Mereka pun menerbitkan tulisan yang bernada membela Soewardi. Tetapi pihak
Belanda menganggap tulisan itu menghasut rakyat untuk memusuhi dan memberontak
pada pemerinah kolonial. Akibatnya keduanya juga terkena hukuman internering.
Douwes Dekker dibuang di
Kupang dan Cipto Mangoenkoesoemo dibuang ke pulau Banda. Namun mereka
menghendaki dibuang ke Negeri Belanda karena di sana mereka bisa memperlajari
banyak hal dari pada didaerah terpencil. Akhirnya mereka diijinkan ke Negeri
Belanda sejak Agustus 1913 sebagai bagian dari pelaksanaan hukuman.
Kesempatan itu dipergunakan
untuk mendalami masalah pendidikan dan pengajaran, sehingga Raden Mas Soewardi
Soeryaningrat berhasil memperoleh Europeesche Akte. Kemudian ia kembali ke
tanah air di tahun 1918. Di tanah air ia mencurahkan perhatian di bidang
pendidikan sebagai bagian dari alat perjuangan meraih kemerdekaan. Setelah
pulang dari pengasingan, bersama rekan-rekan seperjuangannya, ia pun mendirikan
sebuah perguruan yang bercorak nasional, Nationaal Onderwijs Instituut
Tamansiswa (Perguruan Nasional Tamansiswa) pada 3 Juli 1922. Perguruan ini
sangat menekankan pendidikan rasa kebangsaan kepada peserta didik agar mereka
mencintai bangsa dan tanah air dan berjuang untuk memperoleh kemerdekaan. Tidak
sedikit rintangan yang dihadapi dalam membina Taman Siswa. Pemerintah kolonial
Belanda berupaya merintanginya dengan mengeluarkan Ordonansi Sekolah Liar pada
1 Oktober 1932. Tetapi dengan kegigihan memperjuangkan haknya, sehingga ordonansi
itu kemudian dicabut. Di tengah keseriusannya mencurahkan perhatian dalam dunia
pendidikan di Tamansiswa, ia juga tetap rajin menulis. Namun tema tulisannya
beralih dari nuansa politik ke pendidikan dan kebudayaan berwawasan kebangsaan.
Tulisannya berjumlah ratusan buah. Melalui tulisantulisan itulah dia berhasil
meletakkan dasar-dasar pendidikan nasional bagi bangsa Indonesia. Sementara
itu, pada zaman Pendudukan Jepang, kegiatan di bidang politik dan pendidikan
tetap dilanjutkan. Waktu Pemerintah Jepang membentuk Pusat Tenaga Rakyat
(Putera) dalam tahun 1943, Ki Hajar duduk sebagai salah seorang pimpinan di
samping Ir. Soekarno, Drs. Muhammad Hatta dan K.H. Mas Mansur.
Setelah zaman kemedekaan,
Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan yang pertama Ki Hajar Dewantara
pernah menjabat sebagai Lihat Daftar Menteri Menteri Pendidikan, Pengajaran dan
Kebudayaan yang pertama. Nama Ki Hadjar Dewantara bukan saja diabadikan sebagai
seorang tokoh dan Lihat Daftar Pahlawan Nasional pahlawan pendidikan (bapak
Pendidikan Nasional) yang tanggal kelahirannya 2 Mei dijadikan hari Pendidikan
Nasional, tetapi juga ditetapkan sebagai Lihat Daftar Pahlawan Nasional
pahlawan Pergerakan Nasional melalui surat keputusan Lihat Daftar Presiden
Republik Indonesia Presiden RI No.305 Tahun 1959, tanggal 28 November 1959.
Penghargaan lain yang
diterimanya adalah gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas Gajah Mada pada
tahun 1957. Dua tahun setelah mendapat gelar Doctor Honoris Causa itu, ia
meninggal dunia pada tanggal 28 April 1959 di Wakil Presiden Republik Indonesia
(1972-1978) Yogyakarta dan dimakamkan di sana. Kemudian oleh pihak penerus
perguruan Taman Siswa, didirikan Museum Dewantara Kirti Griya, Wakil Presiden
Republik Indonesia (1972-1978) Yogyakarta, untuk melestarikan nilai-nilai
semangat perjuangan Ki Hadjar Dewantara.
Dalam museum ini terdapat
benda-benda atau karya-karya Ki Hadjar sebagai pendiri Tamansiswa dan kiprahnya
dalam kehidupan berbangsa. Koleksi museum yang berupa karya tulis atau konsep
dan risalah-risalah penting serta data surat-menyurat semasa hidup Ki Hadjar
sebagai jurnalis, pendidik, budayawan dan sebagai seorang seniman telah direkam
dalam mikrofilm dan dilaminasi atas bantuan Badan Arsip Nasional. Bangsa ini
perlu mewarisi buah pemikirannya tentang tujuan pendidikan yaitu memajukan
bangsa secara keseluruhan tanpa membeda-bedakan agama, etnis, suku, budaya,
adat, kebiasaan, status ekonomi, status sosial, dan sebagainya, serta harus
didasarkan kepada nilainilai kemerdekaan yang asasi.